HARI YANG DI HARAMKAN UNTUK BERPUASA
Hari-Hari DI HARAMKAN BERPuasa
Ada beberapa hari yang dilarang untuk puasa
di mana tidak boleh melakukan puasa kala itu, namun hal itu butuh perincian
sebagai berikut. Pertama: Hari Idul Fithri dan Idul …
Hari Yang Dilarang Berpuasa Hari Yang
Dilarang Puasa Hari Dilarang Berpuasa Hari Haram Berpuasa Hari Hari Yang
Diharamkan Berpuasa
Ada beberapa hari yang dilarang untuk puasa
di mana tidak boleh melakukan puasa kala itu, namun hal itu butuh perincian
sebagai berikut.
Pertama: Hari Idul Fithri dan Idul Adha
Dari bekas budak Ibnu Azhar, dia mengatakan
bahwa dia pernah menghadiri shalat ‘ied bersama ‘Umar bin Al Khottob
–radhiyallahu ‘anhu-. ‘Umar pun mengatakan,
هَذَانِ يَوْمَانِ نَهَى
رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – عَنْ صِيَامِهِمَا يَوْمُ
فِطْرِكُمْ مِنْ صِيَامِكُمْ ،
وَالْيَوْمُ الآخَرُ تَأْكُلُونَ فِيهِ
مِنْ نُسُكِكُمْ
“Dua
hari ini adalah hari yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam larang untuk
berpuasa di dalamnya yaitu Idul Fithri, hari di mana kalian berbuka dari puasa
kalian. Begitu pula beliau melarang berpuasa pada hari lainnya, yaitu Idul Adha
di mana kalian memakan hasil sesembelihan kalian.” (HR. Bukhari no. 1990 dan
Muslim no. 1137)
Dari Abu Sa’id Al Khudri –radhiyallahu
‘anhu-, beliau mengatakan,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنْ صِيَامِ يَوْمَيْنِ يَوْمِ
الْفِطْرِ وَيَوْمِ النَّحْرِ.
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang berpuasa pada dua hari yaitu Idul Fithri
dan Idul Adha.” (HR. Muslim no. 1138)
Kaum muslimin telah bersepakat (berijma’)
tentang haramnya berpuasa pada dua hari raya, yaitu Idul Fithri dan Idul Adha.
(Lihat Ad Daroril Madhiyah Syarh Ad Durorul Bahiyah, Muhammad bin ‘Ali Asy
Syaukani, hal. 220, Darul ‘Aqidah, cetakan pertama, tahun 1425 H)
Kedua : Puasa Hari Tasyriq (11, 12 dan 13
Dzulhijah)
Tidak boleh berpuasa pada hari tasyriq
menurut kebanyakan pendapat ulama. Alasannya adalah sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam,
أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ
أَكْلٍ وَشُرْبٍ
“Hari-hari
tasyriq adalah hari makan dan minum.” (HR. Muslim no. 1141, dari Nubaisyah Al
Hudzali). Imam Nawawi rahimahullah memasukkan hadits ini di Shahih Muslim dalam
Bab “Haramnya berpuasa pada hari tasyriq”.
Imam Nawawi rahimahullah dalam Al Minhaj Syarh
Shahih Muslim mengatakan, “Hari-hari tasyriq adalah tiga hari setelah Idul
Adha. Hari tasyriq tersebut dimasukkan dalam hari ‘ied. Hukum yang berlaku pada
hari ‘ied juga berlaku mayoritasnya pada hari tasyriq, seperti hari tasyriq
memiliki kesamaan dalam waktu pelaksanaan penyembelihan qurban, diharamkannya
puasa (sebagaimana pada hari ‘ied, pen) dan dianjurkan untuk bertakbir ketika
itu.”(Syarh Shahih Muslim, 6: 184). Hari tasyriq disebutkan tasyriq (yang
artinya: terbit) karena daging qurban dijemur dan disebar ketika itu (Syarh
Shahih Muslim, 8: 17).
Imam Malik, Al Auza’i, Ishaq, dan Imam Asy
Syafi’i dalam salah satu pendapatnya menyatakan bahwa boleh berpuasa pada hari
tasyriq pada orang yang tamattu’ jika ia tidak memperoleh al hadyu (sembelihan
qurban). Namun untuk selain mereka tetap tidak diperbolehkan untuk berpuasa
ketika itu. (Syarh Shahih Muslim, 8: 17). Dalil dari pendapat ini adalah sebuah
hadits dalam Shahih Al Bukhari dari Ibnu ‘Umar dan ‘Aisyah, mereka mengatakan,
لَمْ يُرَخَّصْ فِى
أَيَّامِ التَّشْرِيقِ أَنْ
يُصَمْنَ ، إِلاَّ لِمَنْ لَمْ يَجِدِ الْهَدْىَ
“Pada
hari tasyriq tidak diberi keringanan untuk berpuasa kecuali bagi orang yang
tidak mendapat al hadyu ketika itu.” ( HR. Bukhari no. 1997 dan 1998).
Ketiga: Puasa Hari Jum’at Secara Bersendirian
Tidak boleh berpuasa pada Jum’at secara
bersendirian. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَصُمْ أَحَدُكُمْ يَوْمَ
الْجُمُعَةِ إِلاَّ أَنْ يَصُومَ قَبْلَهُ أَوْ يَصُومَ بَعْدَهُ
“Janganlah
salah seorang di antara kalian berpuasa pada hari Jum’at kecuali jika ia
berpuasa pada hari sebelum atau sesudahnya.” ( HR. Bukhari no. 1985 dan Muslim
no. 1144, dari Abu Hurairah). Imam Nawawi rahimahullah membawakan hadits ini di
Shahih Muslim dalam Bab “Terlarang berpuasa pada hari Jum’at secara
bersendirian.”
Dari Juwairiyah binti Al Harits –radhiyallahu
‘anha-, ia mengatakan,
أَنَّ النَّبِىَّ – صلى
الله عليه وسلم – دَخَلَ عَلَيْهَا يَوْمَ
الْجُمُعَةِ وَهْىَ صَائِمَةٌ فَقَالَ
« أَصُمْتِ أَمْسِ » . قَالَتْ لاَ . قَالَ « تُرِيدِينَ أَنْ
تَصُومِى غَدًا » . قَالَتْ لاَ . قَالَ « فَأَفْطِرِى »
“Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki rumahnya pada hari Jum’at dan ia sedang
berpuasa. Lalu beliau bertanya, “Apakah engkau berpuasa kemarin?” “Tidak”,
jawab Juwairiyah. Beliau bertanya kembali, “Apakah engkau ingin berpuasa
besok?” “Tidak”, jawabnya seperti itu pula. Beliau kemudian mengatakan,
“Hendaknya engkau membatalkan puasamu.” (HR. Bukhari no. 1986 dan Muslim no.
1143, dari Juwairiyah binti Al Harits)
Catatan penting: Puasa pada hari Jum’at
dibolehkan jika:
1- Ingin menunaikan puasa wajib, mengqodho’
puasa wajib, membayar kafaroh (tebusan) dan sebagai ganti karena tidak
mendapatkan hadyu tamattu’.
2- Jika berpuasa sehari sebelum atau sesudah
hari Juma’t sebagaimana diterangkan dalam hadits di atas.
3- Jika bertepatan dengan hari puasa Daud
(sehari puasa, sehari berbuka).
4- Berpuasa pada hari Jum’at bertepatan
dengan puasa sunnah lainnya seperti puasa Asyura, puasa Arofah, dan puasa
Syawal. (Lihat pembahasan Shahih Fiqh Sunnah, 2: 142-143)
Keempat: Berpuasa pada Hari Syak (Yang Meragukan)
Yang dimaksud di sini adalah tidak boleh
mendahulukan puasa satu atau dua hari sebelum Ramadhan dalam rangka hati-hati
mengenai masuknya bulan Ramadhan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
لاَ يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدٌ
الشَّهْرَ بِيَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ إِلاَّ
أَحَدٌ كَانَ يَصُومُ صِيَامًا قَبْلَهُ فَلْيَصُمْهُ
“Janganlah
kalian mendahului Ramadhan dengan berpuasa satu atau dua hari sebelumnya,
kecuali bagi seseorang yang terbiasa mengerjakan puasa pada hari tersebut maka
berpuasalah.” (HR. An Nasai no. 2173, dari Abu Hurairah. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Dalam hadits lainnya, dari ‘Ammar bin Yasir
disebutkan,
مَنْ صَامَ الْيَوْمَ الَّذِي
يُشَكُّ فِيهِ فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Barangsiapa
berpuasa pada hari yang meragukan, maka ia berarti telah mendurhakai Abul
Qosim, yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. An Nasai no. 2188,
At Tirmidzi no. 686, Ad Darimi no. 1682, Ibnu Khuzaimah no. 1808. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Catatan penting: Berpuasa pada hari meragukan
ini dibolehkan jika:
1- Untuk mengqodho’ puasa Ramadhan.
2- Bertepatan dengan kebiasaan puasanya
seperti puasa Senin Kamis atau puasa Daud
Kelima: Puasa tanpa henti (Puasa Dahr)
Kelima: Puasa tanpa henti (Puasa Dahr)
Yang dimaksud puasa Dahr adalah berpuasa
setiap hari selain hari yang tidak sah puasa ketika itu (yaitu hari ‘ied dan
hari tasyriq).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ صَامَ مَنْ صَامَ الأَبَدَ لاَ صَامَ مَنْ صَامَ الأَبَدَ لاَ صَامَ مَنْ صَامَ الأَبَدَ
“Tidak
ada puasa bagi yang berpuasa setiap hari tanpa henti. Tidak ada puasa bagi yang
berpuasa setiap hari tanpa henti. Tidak ada puasa bagi yang berpuasa setiap
hari tanpa henti.” (HR. Muslim no. 1159, dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash)
Hadits di atas menunjukkan terlarangnya
berpuasa setiap hari tanpa henti walaupun tidak ada kesulitan dan tidak lemas
ketika melakukannya. Begitu pula tidak boleh berpuasa setiap hari sampai-sampai
melakukannya pada hari yang terlarang untuk berpuasa. Yang terakhir ini jelas
haramnya. Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2: 144.
Yang paling maksimal adalah melakukan puasa
Daud yaitu sehari berpuasa dan sehari berbuka. Inilah rukhsoh (keringanan)
terakhir bagi yang ingin terus berpuasa. Hadits larangan puasa Dahr tadi
asalnya ditujukan pada Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash. Namun sebagaimana
disebutkan dalam riwayat Muslim bahwa di akhir hidupnya Abdullah bin ‘Amr
menjadi lemas karena kebiasaannya melakukan puasa Dahr. Ia pun menyesal karena
tidak mau mengambil rukhsoh dengan cukup melakukan puasa Daud. (Syarh Shahih
Muslim, 8: 40).
Alhamdulillah, semoga bermanfaat. Hanya Allah
yang memberi hidayah dan petunjuk.
Sumber:
https://muslim.or.id/17917-hari-hari-terlarang-puasa.html